MENILIK KEBERLANJUTAN BUDIDAYA IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcalifer) DI INDONESIA
Produksi perikanan budidaya di dunia telah melebihi produksi perikanan tangkap, dimulai pada tahun 1970 untuk komoditas alga, 1986 untuk ikan air tawar, 1994 untuk moluska, pada 1997 untuk ikan yang beruaya dan pada 2014 untuk krustasea. Budidaya ikan dunia di dominasi oleh Asia, dimana telah memproduksi 89% dari total volume produksi dunia selama 20 tahun terakhir. Negara Cina menjadi produsen produk budidaya terbesar di Asia selama periode 2010-2019. Disamping Cina, beberapa negara penghasil ikan budidaya terbesar adalah Bangladesh, Chili, Mesir, India, Indonesia, Norwegia dan Vietnam (FAO, 2020). Salah satu jenis spesies ikan yang telah dibudidayakan adalah ikan kakap putih (Lates calcalifer).
Ikan kakap putih adalah ikan yang populer di dunia, terutama di Australia. Di Australia ikan kakap putih dikenal dengan sebutan “Barramundi” dan telah digunakan untuk kegiatan komersil maupun untuk rekreasi (pemancingan). Di Asia Tenggara, ikan kakap putih dikenal karena harganya yang cukup terjangkau, rasanya enak sehingga digemari di Singapura dan Thailand (Jerry, 2014). Ikan kakap putih juga populer di Indonesia dan digemari oleh masyarakat. Ikan kakap putih sendiri biasanya diolah menjadi masakan “khas” daerah seperti sup ikan, ikan asam pedas dan ikan bumbu kuning sehingga banyak ditemukan di restoran seafood. Sehingga ikan kakap putih merupakan komoditas yang penting untuk dipertahankan keberlanjutannya, terutama untuk keperluan wisata kuliner khas daerah.
Di Asia Tenggara, budidaya ikan kakap dapat ditemui di Brunei Darussalam, Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Vietnam. Di negara-negara tersebut, produksi budidaya kakap ditujukan untuk pasar ekspor. Indonesia sendiri mulai mengembangkan budidaya ikan kakap putih pada tahun 1980, dimana pada tahun-tahun awal ini pengembangan difokuskan untuk produksi benih dan budidaya keramba jaring apung (KJA). Pada saat itu terdapat dua hatchery pemerintah, yaitu di Provinsi Kepulauan Riau dan di Provinsi Lampung (Jerry, 2014).
Produksi
Ikan kakap di Indonesia pada tahun 2020 sebesar 5.418 Ton, adapun lima provinsi
penghasil produk budidaya ikan kakap terbesar adalah Jawa Barat, Kepulauan
Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Aceh. Jika mengamati total produksi
ikan Kakap Indonesia lima tahun terkahir (grafik 1), terlihat kenaikan produksi
ikan kakap pada periode tahun 2016-2019, namun terjadi penurunan produksi yang
cukup signifikan pada tahun 2020 (Satu data KKP, 2020). Penyebab dari penurunan
produksi ini perlu dikaji lebih dalam, pertama, peru diperhatikan apakah data
produksi sudah terdata dengan benar dan tidak terjadi loss data pada
saat pencatatan data statistik. Kedua, penurunan produksi pada tahun 2020
bertepatan dengan pandemi Covid-19, perlu diselidiki apakah pandemi ini
memberikan dampak negatif kepada produksi ikan kakap di Indonesia mengingat
bahwa pasar utama dari produk ikan kakap adalah pasar ekspor. Ketiga, mengingat
adanya pengurangan anggaran untuk mengatasi Covid-19, perlu diselidiki apakah
benih kakap putih tetap tersedia di Balai Pembenihan Pemerintah.
Grafik 1. Produksi Budidaya Kakap di Indonesia 2016-2020. Sumber: www.satudatakkp.go.id
Berdasarkan taksonomi, ikan kakap putih (Gambar 1) tergolong kedalam keluarga “Latidae”, dan termasuk kedalam marga “lates” sehingga mendapatkan nama spesies Lates calcarifer (Bloch 1790). Distribusi dari ikan ini adalah pada daerah estuari dan perairan pantai dari Barat Daya India sampai ke timur laut Australia, diantara latitude ± 25°, dengan kemungkinan menyebar ke arah barat wilayah pantai teluk Persia dan ke arah timur laut Cina selatan dan laut Filipina (Jerry, 2014).
Gambar 1. Lates calcarifer. Ukuran 183 mm yang ditangkap di Utara Australia (Jerry, 2014).
Budidaya ikan kakap putih dapat
dilakukan pada kisaran suhu <20 °C to 35 °C. Namun, pertumbuhan optimal
untuk spesies terjadi pada suhu 30°C jika suhu diatas 33°C performa pertumbuhan
dan penyerapan pakan akan berkurang karena ikan mengalami stres (Glencross, et.
al, 2010). Sistem budidaya yang digunakan untuk spesies ini umumnya adalah
tambak, KJA laut dan sistem raceway. Pakan yang diberikan pada budidaya
ikan kakap putih adalah pakan ikan rucah dan pakan pelet.
2.
Metode dan mekanisme pengembangan
2.1.Arah
pengembangan budidaya kakap putih
Meniliktrend terbaru di
dunia akuakultur, yaitu “perubahan dari ekonomi biru (blue economy)
menjadi komunitas biru (blue communities) dimana kegiatan budidaya
dipusatkan ke suatu daerah, dimana di daerah ini, dukungan dan investasi baik
dari pemerintah, pihak swasta dan publik dilakukan dengan mekanisme khusus
sehingga usaha budidaya dapat maju secara kolektif dengan harapan kegiatan budidaya
memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, politik, kultural
dan sosial. Pada konsep blue communities, yang diutamakan adalah
kesejahteraan (wellbeing) komunitas di area budidaya (Campbell, et, al.,
2020).
Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri melalui PERMENKP No. 47 Tahun 2021 juga
ikut serta dalam trend blue communities dengan mencanangkan program
“Kampung Perikanan Budidaya”. Adapun yang terlibat pada program ini adalah
pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, kelompok masyarakat, lembaga
penelitian non-pemerintah, lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat
yang akan bekerjasama dalam membangun area budidaya. Tentunya program ini tetap
mengacu pada akuakultur berkelanjutan (sustainable aquaculture) yang
telah menjadi kewajiban untuk budidaya di Indonesia.
Dalam
pengembangannya, konsep blue communities ini perlu didasari dengan model
fungsi produksi dimana P=F (Sumber Daya Alam, Teknologi, Manajemen).
Persiapan produksi dimulai dengan pemilihan dan penetapan lokasi (SDA),
dilanjutkan dengan penentuan teknologi dan penentuan manajemen sehingga
diperoleh hasil yang optimal.
2.2.Sumber
Daya Alam (pemilihan lokasi dan ecological carrying capacity)
Memastikan bahwa lokasi
yang dipilih cocok untuk jenis akuakultur adalah salah satu cara untuk
meminimalisir dampak terhadap lingkungan. Untuk membudidayakan ikan, kita perlu
menyesuaikan lokasi dengan parameter air yang sesuai dengan spesies ikan dan
wadah budidaya (tabel 1), kemudian setelah mendapatkan lokasi yang cocok kita
perlu mempelajari adalah keadaan hidrodinamika lokasi tersebut; contohnya:
memastikan adanya pergerakan air yang cukup pada kawasan budidaya untuk dipakai
kegiatan budidaya. Untuk melihat kondisi hidrodinamika kita dapat menggunakan geographic
information systems (GIS).
Tabel 1. Parameter lingkugan optimal untuk
budidaya kakap di kolam/KJA (Kandan, 2015)
Dalam
menentukan lokasi budidaya, kita juga perlu melihat kapasitas muatan ekologi (ecological
carrying capacity) dalam rangka mendukung budidaya ikan berkelanjutan. Ecological
carrying capacity memperhitungkan pengaruh dari kegiatan budidaya
terhadap spesies lain, komunitas dan proses ekologikal pada badan air saat
kegiatan budidaya terjadi sehingga produksi ikan budidaya tidak membatasi
suplai makanan organisme lain dan mempertahankan biodiversitas di lokasi
tersebut (Crawford dan Macleod, 2009). Adapun indikator kondisi lingkungan dan
metode penilaian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.
2.3.Teknologi
peningkatan sistem budidaya kakap putih
Sistem budidaya ikan kakap putih yang berkelanjutan perlu diarahkan ke arah pengurangan lahan budidaya, konsumsi air, nutrisi dan polusi bahan kimia pada industri akuakultur. Untuk itu perlu diperhatikan dua hal berikut: (1) menggurangi penggunaan lahan dan air dengan mendaur ulang (recycling) air, intensifikasi produksi, atau berpindah ke lautan; dan (2) mengurangi polusi dari nutrien dan bahan kimia dengan cara memberikan perlakuan, mengubah dan mengencerkan limbah (Gambar 2) (Klinger dan Naylor 2012).
Seiring dengan
meningkatnya penduduk, maka kompetisi terhadap penggunaan lahan terjadi, untuk
itu perlu untuk melakukan intensifikasi usaha budidaya. Kompetisi juga terjadi terhadap
penggunaan air tawar sehingga diperlukan upaya penghematan air. Air limbah pada
akukuakultur terbentuk dari pakan yang tersisa, kotoran ikan, bakteri (partikel
bahan organik), juga dari ammonia yang dikeluarkan, nitrit, nitrat dan senyawa
fosfor (nutrien anorganik terlarut). Jika produksi limbah tetap di sistem
budidaya, akan terakumulasi sehingga menjadi racun bagi ikan dan organisme
lainnya.
2.3.1. Recirculating
Aquaculture Systems (RAS)
Salah satu strategi untuk intensifikasi produksi sekaligus mengurangi limbah di air budidaya adalah dengan Recirculating Aquaculture Systems (RAS). Sistem ini di desain untuk mengumpulkan dan menghilangkan limbah yang dihasilkan, pakan yang tidak termakan dan bakteri dari tangki tempat ikan dibudidayakan sehingga air dapat di daur ulang dan kembali ke sistem.
Sistem RAS memberikan banyak keuntungan dibanding budidaya ikan konvensional. Dengan mengolah dan mendaur ulang air menyebabkan pengurangan penggunaan air tawar dan laut. Pengolahan air yang dilakukan pada sistem RAS akan mengurangi dampak pada ekosistem laut dan menghasilkan produk sampingan yang dapat digunakan oleh industri lain. Limbah padat yang dihasilakan dari RAS kaya akan nitrogen dan phospor sehingga dapat digunakan sebagai pupuk pertanian.
2.3.2. Sistem
Akuaponik
Pendekatan lainnya yang memadukan produksi intensif dengan daur ulang air dan konservasi air adalah sistem akuaponik. Produksi akuaponik memadukan budidaya resirkulasi dengan hidroponik, dimana tanaman memanfaatkan nutrien limbah dari budidaya untuk pertumbuhan.
Produksi ikan pada sistem
akuaponik dapat dilakukan di kolam, tangki atau wadah lainnya. Tumbuhan tumbuh
di wadah yang berbeda, yaitu wadah hidroponik, akarnya terendam air, dan
disesuaikan dengan media tanam seperti kerikil, pasir, perlite, atau pada
plastik berpori-pori dan juga pada rakit apung. Sistem ini bervariasi
tergantung desain dan konstruksi, namun umumnya menggunakan fungsi berikut: produksi
ikan dan tanaman, pembuangan limbah padatan, dan nitrifikasi bakteri.
Gambar
2. Skema perlakuan untuk mengurangi bahan organik dan nutrien anorganik
terlarut. (a) Pada sistem RAS; (b) Pada sistem akuaponik; (c) Pada sistem
budidaya laut multitropik terintegrasi; (d) budidaya ikan laut lepas.
2.3.3. Akuakultur
Multitropik terintegrasi (Integrated Multitrophic Aquaculture)
Pendekatan lebih beragam dan lebih murah untuk pengolahan limbah dan manajemen ekologi adalah akuakultur multitropik terintegrasi (IMTA). IMTA menggunakan kultur dari organisme yang berasala dari tingkat trofik berbeda untuk mengurangi konsentrasi nurien sampai nutrien tersebut tidak menyebabkan kerusakan pada ekologi, seperti eutrofikasi, ledakan alga berbahaya, maupun ledakan alga hijau. Pada sistem IMTA, tanaman berbeda dan organisme yang bersifar filter feeding mengubah limbah dari pakan ikan menjadi pertumbuhan.
Operasional IMTA umumnya terdiri dari ikan atau udang
yang mengkonsumsi pakan, satu atau dua organisme yang menyerap partikel nutrien
organik, dan satu spesies yang menyerap partikel nutrien anorganik terlarut. Organisme
penyerap bahan organik biasanya adalah kekerangan atau invertebrata yang
bersifat deposit feeder. Bahan anorganik biasanya diserap oleh organisme
seperti makro alga. Prinsip IMTA dapat di aplikasikan kepada budidaya air tawar
maupun air laut yang berada di daratan dekat dengan pantai.
2.3.4. Budidaya
lepas pantai (offshore aquaculture)
Mempertimbangkan biaya, keamanan pangan dan ketidakpastian produksi dari pendekatan budidaya terintegrasi, salah satu strategi alternatif untuk menangani kelangkaan lahan dan air serta akumulasi limbah adalah dengan memindahkan budidaya ikan ke daerah lepas pantai. Memindahkan akuakultur ke lepas pantai akan menghilangkan hambatan karena ketersediaan lahan dan ketersediaan air tawar sehingga mengurangi konflik dengan pengguna daerah pantai lainnya (navigasi, rekreasi dan pemancingan komersil).
Meskipun
kebanyakan budidaya lepas pantai memerlukan akses pelabuhan dan gudang logistik
di daratan, keperluan ini realatif kecil jika dibanding bentuk akuakultur
lainnya. Memindahkan budidaya laut dari daerah pantai ke daerah lepas pantai
akan mengurangi dampak polusi, dimana laju aliran dan pelepasan limbah ke flora
dan fauna pantai berkurang. Ikan yang dibudidayakan di daerah lepas pantai
terbukti lebih sehat dan tumbuh lebih cepat.
2.4.Manajemen
Menurut
Valenti, et, al tahun 2017 ada tiga indikator dalam memanajemen akuakultur
berkelanjutan, yaitu:
· Indikator
ekonomi dimana kegiatan usaha akuakultur berkelanjutan perlu mempertimbangkan
efisiensi dalam menggunakan sumberdaya finansial, kelayakan ekonomi, kapasitas
untuk menyerap biaya eksternalitas (negatif negative externality costs),
kepasitas ketangguhan (resilience), dan kapasitas untuk menghasilkan
modal untuk re-investasi.
· Indikator
lingkungan dimana kegiatan usaha akuakultur mempertimbangkan penggunaan
sumberdaya alam seperti efisiensi penggunaan sumberdaya, pelepasan polutan dan
produk sampingan yang tak terpakai dan resiko merusak keragaman genetik dan
biodiversitas.
· Indikator
sosial yaitu mengacu kepada kapasitas untuk menghasilkan keuntungan kepada
kominitas lokal, termasuk pekerjaan dan keamanan pangan, distribusi pendapatan
yang adil, keadilan pada kesempatan dan penyertaan populasi rentan.
3. Pengembangan
Best Aquaculture Practices (BAP) pada budidaya ikan kakap putih
Best Aquaculture Practices (BAP) adalah sebuah skema sertifikasi yang dikelola oleh Global Seafood Alliance (GSA) yang mengacu kepada FAO Technical guidelines on aquaculture certification. Skema sertifikasi ini dikembangkan dalam rangka menyediakan standard budidaya ikan dalam hal (1) kesehatan dan kesejahteraan hewan; (2) keamanan pangan; (3) integritas lingkungan; dan (4) aspek sosio-ekonomi.
Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menerapkan BAP sejak tahun 2010 melalui PERMEN KP No. 19/MEN/2010 tentang “Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan” dimana ditetapkan skema sertifikasi yaitu: (1) Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB); (2) Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) dan (3) Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB). Seiring perkembangan lembaga dalam sertifikasi GAP, maka pada tahun 2019 telah dicanangkan program sertifikasi baru yang bernama Indonesian Good Aquaculture Practices (IndoGAP) melalui PERDIRJEN-PB No. 215/PER-DJPB/2019 tentang “Petunjuk Teknis Sertifikasi Indonesian Good Aquaculture Practices” dimana proses sertifikasi IndoGAP akan dikelola oleh lembaga sertifikasi independen.
Dalam persiapan untuk sertifikasi BAP, perlu memperhatikan fungsi produksi berikut: Produksi= f (biota, lingkungan, pakan) dimana benih yang unggul (biota), lingkungan yang baik dan penggunaan pakan yang baik akan memberikan produktivitas yang baik sehingga kegagalan panen dapat dihindari.
3.1.Pemilihan
benih ikan kakap putih
3.1.1. Pemijahan
Selektif (Selective Breeding)
Pada Selective Breeding, organisme dengan sifat diinginkan dipilih dari populasi yang lebih besar dan kemudian dikawinkan untuk menghasilkan keturunan yang sama atau dilakukan peningkatan sifat. Pemijahan selektif ini umumnya dilakukan untuk peningkatan pertumbuhan, peningkatan Food Conversion Ratio (FCR), peningkatan pencernaan terhadaap bahan pakan alternatif dan peningkatan resistensi terhadap penyakit.
3.1.2. Modifikasi
Genetik (Genetic Modification)
Teknologi transfer gen, salah satu bentuk dari GM, saat ini dikembangkan pada beberapa ikan untuk memodifikasi sifat spesifik, walaupun belum ada ikan komersial yang mendapatkan izin legal (Klinger dan Naylor 2012). Modifikasi genetik mengubah genome satu spesies dengan materi genetik dari spesies berbeda. Bentuk paling umum dari GM adalah dengan menyuntikan growth hormon (GH) dari mamalia ke ikan.
3.2.Strategi
pemberian pakan
Efisiensi penggunaan pakan dan sumber dari pakan yang digunakan adalah faktor terpenting dalam akuakultur yang akan menentukan keuntungan ekonomi dan dampak terhadap lingkungan dari budidaya ikan. Khususnya, penggunaan ikan di alam dalam bentuk tepung ikan dan minyak ikan sebagai input dari pakan untuk kegiatan akuakultur bergantung pada spesies laut yang dapat diperbaharui namun terkadang telalu di eksploitasi untuk kebutuhan manusia. Jika kegiatan akuakultur mengkonsumsi volume pakan lebih besar daripada produk ikan yang dihasilkan, maka dapat dikatakan kegiatan tersebut belum sustainable.
Secara umum, sektor akuakultur sudah mencapai proses
signifikan dalam efisiensi pakan. Rasio dari input ikan liar yang digunakan
terhadap total ikan budidaya yang dihasilkan (ikan masuk dan ikan keluar) telah
berada dibawah 1.0, rasio konversi pakan telah meningkat dan penggunaan tepung
ikan dan minyak ikan telah berkurang dengan adanya industri akuakultur (Klinger
dan Naylor 2012).
3.2.1. Alternatif
pengganti tepung ikan dan minyak ikan
Tanaman terestrial sudah menjadi alternatif pengganti sebagian tepung ikan dalam pakan. Penggantian protenin tumbuhan telah dilakukan pada beberapa spesies ikan omnivora dan karnivora dalam skala komersil. Ikan karnivora seperti salmon, trout, kurisi dan kakap menunjukkan bahwa dapat tumbuh baik dengan menggunakan kombinasi pakan dengan protein hewani dan tumbuhan (Klinger dan Naylor 2012)
Protein tumbuhan yang cocok untuk pakan ikan adalah barley, canola, jagung, biji kapas, kacang polong, kedelai, dan gandum. Diantara produk tersebut, kacang kedelai mendominasi pasar komersil; protein gandum juga cocok dari segi nutrisi namun terdapat hambatan dalam pencernaan. Umumnya, bahan pakan dari produk tumbuhan memiliki kadar protein mentah yang lebih rendah dibanding tepung ikan dan bahan organik yang dicerna lebih banyak dalam bentuk karbohidrat tak larut dan serat sehingga tingkat ekskresi ikan lebih tinggi dan limbah lebih banyak.
Produk tanaman terestrial juga dapat digunakan sebagai pengganti minyak ikan dalam pakan. Selama beberapa dekade terakhit, terjadi peningkatan penggunaan minyak tumbuhan (contoh: canola, kedelai, flax dan minyak sawit) dalam pakan ikan. Peningkatan penggunaan produk tanaman ini dikarenakan terjadinya peningkatan harga minyak ikan di pasar global dikarenakan manusia juga mengkonsumsi minyak ikan.
Pengganti lain dari tepung ikan dan minyak ikan dalam
pakan ikan adalah produk dari hewan terestrial, seperti daging dan tepung
tulang, tepung bulu dan produk sampingan (by product) peternakan unggas.
Dibanding dengan protein tumbuhan, tepung dari by product hewan memliki
asam amino yang lebih komplit, dan kecernaan produk ini meningkat selama 30
tahun belakang karena peningkatan dari teknik memprosesnya.
3.2.2. Penelitian
awal terkait pengembangan pengganti tepung ikan dan minyak ikan
Seiring dengan perkembangan dan konsumsi global tepung ikan dan minyak ikan yang terus terjadi, teknologi dan produk yang mengembangkan sumber protein dan lemak alternatif juga terus meningkat. Salah satu alternatif yang mulai dikembangkan adalah single-cell organisms (SCOs), krill, polychaete, serangga dan bahan lain yang jarang digunakan untuk pakan seperti makro alga. Pengembangan SCOs sebagai sumber omega-3 merupakan salah satu area penelitian yang menjanjikan. SCOs seperti dinoflagelata heterotrophic, thraustochytrids dan beberapa spesies dari kelompok alga, telah sukses digunakan untuk pakan ikan.
Penggunaan zooplankton laut (cth: copepoda herbivora (red feed) dan krill), polychaetes, cacing dan serangga. Diantara organisme tersebut, krill adalah yang paling luas dikembangkan pada pakan ikan. Beberapa spesies dari krill, khususnya Euphausia superba dari Laut Selatan, memiliki potensi berjumlah besar untuk digunakan sebagai protein berkualitas tinggi, sumber lemak dan nutrien lainnya. Inovasi lainnya pada pakan ikan adalah penggunaan polychaetes/cacing laut. Sumber pakan ini (cacing) merupakan salah satu cara tradisional yang digunakan sebagai umpan memancing di air tawar dan air laut.
3.3.Lingkungan
budidaya ikan kakap putih
Menurut Tisdell tahun 2007, kondisi lingkungan sangat
penting dalam memilih spesies dan sistem budidaya yang sesuai baik untuk
budidaya skala kecil maupun skala besar. Selain itu, karena efek limpahan (spillover
effects) seperti: kontaminasi air oleh limbah budidaya (nitrat dan bahan
kimia lainnya); peluang untuk penyebaran penyakit dan hama dari aktivitas
budidaya; kompetisi antara organisme budidaya terhadap makanan dan nutrien yang
ada di badan air; berkurangnya ketersediaan oksigen pada badan air; dan berkurangnya
jumlah akuifer karena digunakan untuk akuakultur yang dihubungkan dengan
intrusi air laut. Oleh karena itu penting bagi sektor akukultur untuk juga
memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar area budidaya.
4. Teknologi
yang mengubah ketidakpastian (uncertainty) menjadi resiko (risk)
Untuk mengubah ketidakpastian
(uncertainty) menjadi resiko (risk) adalah dengan penggunaan teknologi. Adapun teknologi
terkini yang dapat digunakan adalah:
·
Automated real-time monitoring
systems yaitu sistem yang menyediakan data kondisi
lingkuungan dari tanki/KJA budidaya. Dengan semakin terjangkaunya harga
teknologi monitoring, tidak menutup kemungkinan sebentar lagi sistem monitoring
otomatis akan menjadi standar kegiatan akuakultur komersil;
·
Meningkatnya teknologi pakan dan
meingkatnya pemahaman terhadap kebutuhan nutrisi ikan, menghasilkan formulasi
pakan dengan limbah lebih sedikit sehingga mengurangi dampak terhadap
lingkungan;
·
Meningkatnya efisiensi alat pakan otomatis
(automated feeders) yang dapat memonitor aktifitas makan di tangki/KJA
sehingga memastikan limbah pakan sisa seminimal mungkin;
·
Kemajuan dari hidrodinamika, diaplikasikan
ke desain tangki dan kolam, telah memunculkan perkembangan sistem
tertutup/semi-tertutup, yaitu dengan teknologi resirkulasi yang menjaga kondisi
lingkungan optimal pada sistem akuakultur dan mengendalikan limbah keluar;
·
Kemajuan teknologi rekayasa yang
mengadaptasi dari fasilitas pengeboran minyak lepas pantai menghasilkan open
ocean aquaculture systems yang menghadirkan cara baru dalam budidaya ikan;
·
Polikultur dan integrated multitrophic
aquaculture (IMTA) yang semakin berkembang sehingga menghasilkan sistem
budidaya yang berkelanjutan;
5. Isu
dan dampak lingkungan dari pengembangan ikan kakap
5.1. Dampak
akuakultur terhadap lingkungan
Dampak lingkungan dalam pengembangan budidaya ikan kakap dapat terjadi pada lingkungan sungai, pantai dan laut. Pertambahan populasi manusia menimbulkan konflik terhadap penggunaan air, terutama air tawar. Misalnya, kebutuhan air untuk agrikultur, industri, pembuangan limbah, transportasi, rekreasi, nilai estetika dan air minum (Gambar 3).
Gambar 3. Konflik potensial pada penggunaan air (Crawford dan Macleod, 2009)
Dampak ekologi mengacu pada segala perubahan terhadap
lingkungan alami yang muncul karena kegiatan akuakultur. Beberapa faktor
penting yang mempengaruhi lingkungan karena aktifitas akuakultur adalah:
· Ukuran
dan intensitas budidaya;
· Lokasi
unit budidaya (misal: sensitifitas dan kemampuan asimilasi dari daerah,
hidrologi, kehadiran industri lain);
· Jenis
organisme yang dibudidaya (misal: hewan atau tumbuhan, kanrnivora atau filter
feeder, endemik atau introduksi);
· Metode
budidaya dan praktek manajemen (misal: KJA perairan terbuka atau akuakultur
daerah pantai, teknologi maju atau tradisional).
Satu
dampak yang paling menyolok dari kegiatan akuakultur terhadap lingkungan adalah
pengayaan organik (organic enrichment) yang mempengaruhi habitat
organisme bentik lokal (gambar 4). Kasus seperti in terjadi pada budidaya
intensif dengan tingkat trofik ikan yang tinggi dan diberikan makanan dari
sumber pakan luar wilayah. Dibawah kondisi seperti ini limbah pakan dan feses
akan terakumulasi sehingga sistem budidaya membawa kepada kemerosotan kondisi
lingkungan. Akumulasi bahan organik akan menimbulkan eutrofikasi dan terjadinya
ledakan alga sehingga lingungan menjadi beracun bagi organisme.
Budidaya
ikan intensif meningkatkan potensi wabah penyakit dan perpindahan penyakit
antara ikan budidaya dan ikan liar. Banyak kegiatan budidaya yang menggunakan
terapi bahan kimia (cth: antibiotik, anti parasit, fungisida, herbisida dan
desinfektan) untuk mempertahankan kondisi kesehatan ikan. Namun, opsi manajemen
seperti ini memberikan dampak tidak baik kepada lingkungan, dimana bahan kimia
dapat terakumulasi di sedimen sehingga merubah komposisi fauna di sedimen.
Penggunaan cat antifoulant pada peralatan, jaring dan pipa pada kegiatan
budidaya untuk mengurangi biofouling dapat bersifat racun bagi organisme
di lingkungan.
Kehilangan
atau modifikasi habitat sebagai hasil dari kegiatan akuakultur telah diketahui
sebagai isu yang signifikan, sebagai contoh: koversi lahan gambut dan hutan
mangrove menjadi tambak udang. Infrastruktur dari kegiatan akuakultur dapat
mengubah pola aliran air dan pergerakan sedimen, dimana akan mengubah struktur
habitat melalui penambahan atau penguranan sedimen. Hal ini akan mengubah
habitat dan berpengaruh signifikan terhadap spesies asli.
Kehadiran
dari spesies budidaya akan berdampak pada tingkah-laku dari spesies asli.
Contohnya: perubahan dari tingkah laku mencari makan dan pola distribusi anjing
laut dan burung laut dan menyebabkan agregasi dalam mencari ikan. Introduksi
spesies baru untuk kegiatan budidaya dapat menyebabkan berkurangnya spesies
lokal, hama penyakit baru di lingkungan dan menambah resiko polusi genetik
terhadap ikan liar sehingga mempengaruhi rantai makanan dan ekologi karena ada
ikan budidaya yang terlepas/kabur.
Produksi
pangan dari akuakultur bergantung dari suplai air bersih untuk memastikan
spesies budidaya aman untuk dikonsumsi manusia. Jika air budidaya terkontaminasi
(misalnya oleh bahan kimia dari industri, limbah atau pestisida) hal ini akan
terlihat pada nafsu makan dan pada laju pertumbuhan, reproduksi dan kondisi
fisik spesies budidaya. Air yang tercemar ini dapat juga karena racun dari alga
atau jumlah bakteri yang tinggi di daerah estuari karena kotoran ternak dan
sistem limbah dari aliran kegiatan agrikultur.
Aktifitas
di daratan, seperti deforestasi atau pengembangan daerah pantai dapat
menyebabkan tingginya jumlah bahan partikel yang diterima oleh perairan,
sehingga konsentrasi nutrien (terutama nitrogen dan fosfor) di air meningkat
dan menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi akan menyebabkan pengurangan
penetrasi cahaya dan konsentrasi oksigen terlarut (DO), dimana hal ini akan
menyebabkan berkurangnya laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup
spesies yang dibudidayakan.
Pengendalian
terhadap pemangsa juga merupakan isu yang signifikan untuk banyak pembudidaya
ikan laut. Anjing laut, hiu, burung, kepiting, ikan atau ubur-ubur memangsa
ikan budidaya. Ledakan ubur-ubur beracun menyebabkan banyak kematian ikan di
KJA. Parasit juga akan berkembang biak karena kegiatan budidaya, dan
menyebabkan kematian signifikan pada organisme yang dibudidayakan.
Beberapa
tahun terakhir, perubahan iklim diidentifikasi berpotensi memberi dampak
negatif pada aktifitas akuakultur. Perubahan iklim akan memberikan pengaruh
signifikan kepada strategi reproduksi, pertumbuhan, epidemiologi dan respon
fisik. Perubahan iklim juga akan menyebabkan pengaruh tidak langsung pada
kegiatan akuakultur, menyebabkan perubahan kebutuhan infrastruktur dan
pemilihan lokasi dan berpotensi mempengaruhi ekosistem terkait seperti ketersediaan
ikan rucah dan bahan pakan lainnya.
5.2.Alternatif
pemecahan isu lingkungan
5.2.1. Isu
Eutrofikasi di badan air
Ada
beberapa cara menurut Liu dan Qiu tahun 20017, yaitu:
· Memperketat
pemantauan tehadap limbah industri, peternakan dan agrikultur yang membuang
aliran limbah ke badan air;
· Menanam
tanaman hijau (green belt) di sekitar perairan untuk mengurangi aliran
bahan organik ke badan air;
· Menanam
tanaman akuatik atau makrofita pada badan air;
· Melakukan
biomanipulation yaitu memanfaatkan hubungan dan interaksi antara ikan,
zooplankton, makrofita dan bakteri pada ekosistem akuatik untuk mengendalikan
pertumbuhan alga yang berlebihan.
5.2.2. Isu
penggunaan obat dan antibiotik pada akuakultur
Menurut
Love, et al. tahun 2020, ada beberapa cara dalam memanajemen penggunaan obat
dan antibiotik pada akuakultur, yaitu:
· Penerapan
sertifikasi Best Aquaculture Practices (BAP) dan Best Managemen
Practices (BMP) pada usaha budidaya komersil;
· Melakukan
sistem zonasi terhadap unit budidaya untuk mencegah transmisi penyakit menular;
· Membesarkan
ikan di lingkungan bebas penyakit dan menggunakan induk yang bebas penyakit;
· Mengurangi
stress pada ikan budidaya dengan cara penanganan yang baik terutama pada
budidaya dengan padat tebar tinggi (intensif).
5.2.3. Isu
perubahan iklim
Menurut
Galappaththi, et. al. tahun 2019, ada beberapa strategi adaptasi yang dilakukan
pembudidaya dalam menghadapi perubahan iklim, yaitu:
· Melindungi
dan memulihkan ekosistem untuk perlindungan dari banjir dan untuk perbaikan
kualitas air;
· Menyediakan
benih yang dapat mentoleransi kisaran suhu lebih tingggi;
· Memperkenalkan
teknologi baru pada usaha budidaya untuk meningkatkan produktifitas air melalui
penelitian dan pengembangan;
· Membuat
instalasi penampung air hujan untuk kegiatan budidaya dan hidroponik;
· Mendukung
manajemen sumberdaya air yang terintegrasi sehingga air yang ada dimanfaatkan
dengan efisien.
Daftar Pustaka
Campbell, et al. 2020. From Blue Economy to Blue Communities: reorienting aquaculture expansion for community wellbeing. Journal of marine policy. Elsivier.
Crawford, C. dan Macleod, C. 2009. Predicting and assessing the environmental impact of aquaculture. Buku New technologies in aquaculture Improving production efficiency, quality and environmental management. CRC Press. New Delhi. Hal 703-730.
FAO. 2020. The State of World Fisheries
and Aquaculture 2020. Sustainability in action. Rome. https://doi.org/10.4060/ca9229en
Galappaththi,
E, K. 2019. Climate change adaptation in aquaculture. Review in Aquaculture.
John Wiley and Sons. Australia.
Glencross, B. 2010. Evaluating option for fishmeal replacement in diets for juvenile barramundi (Late calcalifer). Journal of Aquaculture Nutrition. Blackwell Publishing.
Jerry, D, R. 2014. Biology and Culture of Asian Seabass Lates calcarifer. CRC Press. Florida
Klinger, D., Naylor, R. 2012. Searching for Solutions in Aquaculture: Charting a Sustainable Course. University of Sussex.
Kandan, S. 2015. Culture of Sea bass
(Lates calcarifer) in Cages in Ponds. Advances in Marine and Brackishwater
Aquaculture. Springer. India. Hal 89-93.
Liu,
W., Qiu R. 2007. Mini-review Water eutrophication in China and the combating
strategies. Journal of Chemical Technology and Biotechnology. SCI.
Love,
D, C, et al. 2020. Veterinary drug use in United States net pen Salmon
aquaculture: Implications for drug use policy. Journal of Aquaculture.
Elsevier.
Valenti,
W, C., et. al. 2017. Indicators of sustainability to assess aquaculture
systems. Journal of Ecological Indicators, Elsivier.
Komentar
Posting Komentar